Bhinneka Tunggal Ika, sebuah istilah yang merupakan moto nasional Republik Indonesia, diterjemahkan secara bebas sebagai “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Flosul tersebut merujuk pada keanekaragaman suku, budaya, dan agama yang ada di Indonesia, namun tetap bersatu dalam satu negara. Bagaimana kalimat ini pertama kali muncul dan disematkan dalam konteks nasional?
Kalimat Bhinneka Tunggal Ika berasal dari sebuah kitab kuno yang berjudul “Sutasoma”, sebuah wiracarita yang ditulis oleh Mpu Tantular pada masa kerajaan Majapahit.
Konteks Sejarah
Mpu Tantular adalah seorang sastrawan di kerajaan Majapahit yang hidup pada abad ke-14 Masehi. Dalam wiracarita “Sutasoma”, penggambaran keluhuran karakter dan idealitas moral utamanya, Raja Sutasoma, menjadi fondasi bagi munculnya slogan Bhinneka Tunggal Ika. Mpu Tantular menganut paham pengembalian pelarian Siwa-sora, yaitu doktrin yang menekankan pentingnya persatuan dan toleransi antara dua ajaran besar di Jawa saat itu, yakni Hindu (Siwastawa) dan Buddha (Budhastawa).
“Sutasoma” dan Bhinneka Tunggal Ika
“Sutasoma” berisikan cerita tentang petualangan Raja Sutasoma, anak dari Raja Hastinapura. Setelah cerita berlangsung dalam berbagai petualangan dan tantangan, pada satu titik, Raja Sutasoma berkata “Rwaneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, mungka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”.
Kalimat ini diterjemahkan secara bebas sebagai “Meskipun bentuk dan tipe manusia itu bermacam-macam, dalam Buddha dan Siwa mereka menyatu, apa yang tampak berbeda namun memiliki kesatuan itu adalah hakikat yang sejati”. Dengan ini, Mpu Tantular menyuarakan prinsip toleransi dan persatuan, yang menjadi landasan filosofis Bhinneka Tunggal Ika.
Bhinneka Tunggal Ika dalam Konteks Modern
Kalimat Bhinneka Tunggal Ika muncul kembali pada tahun 1950-an, ketika para pendiri Republik Indonesia mencari slogan yang bisa mewakili keragaman budaya, suku, dan agama yang ada di Indonesia. Slogan ini sekarang menjadi moto nasional dan terdapat dalam lambang negara, Garuda Pancasila.
Pada zaman modern ini, prinsip Bhinneka Tunggal Ika lebih penting dari sebelumnya. Dalam era globalisasi dan keberagaman yang semakin kompleks, kita harus selalu mengingat prinsip toleransi dan persatuan, yang telah ada sejak zaman Majapahit dan diabadikan dalam “Sutasoma”.
Dengan mengetahui asal-usul Bhinneka Tunggal Ika, kita dapat lebih hargai dan memahami pentingnya persatuan dalam keberagaman, prinsip yang merajut jalinan kehidupan Indonesia yang beragam dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan, layaknya moto “Bhinneka Tunggal Ika” pesan dalam buku “Sutasoma”.